Thursday, January 14, 2010

Lampu Merah Dan Kesedihan

Dari kejauhan, lampu isyarat trafik di persimpangan itu masih menyala hijau. Jamal segera menekan pedal minyak kenderaannya. Ia tak mau terlambat. Apatah lagi dia tahu persimpangan di situ cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang.

Lampu berganti kuning..

Hati Jamal berdebar berharap semoga ia boleh melewatinya segera. 3 meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jamal bimbang, haruskah ia atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menekan pedal brek mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.

Pritttttttt....!!!

Di seberang jalan seorang polis melambaikan tangan memintanya berhenti. Jamal menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari cermin sisi dia melihat siapa si polis itu. Wajahnya tak terlalu asing. Hey, itu kan Bob, teman sepermainannya semasa sekolah rendah dulu. Hati Jamal agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.

“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”

“Hai, Jamal.” Tanpa senyum.

“Aduh, sepertinya saya kena saman nih? Saya memang agak buru-buru. Isteri saya sedang menunggu di rumah.”

“Oh ya?” Nampaknya Bob agak ragu.

Nah, bagus kalau begitu. “Bob, hari ini isteriku berulang tahun. Dia dan anak-anak sudah menyiapkan segalanya. Tentu aku tidak boleh terlambat, Bob.”

“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”

Ooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jamal harus tukar strategi dan alasan.


“Jadi, kamu hendak menyamanku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.” Hmm, terkadang berdusta sedikit boleh memperlancar keadaan.

“ Sudahlah Jamal. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan lesen mu.”

Dengan bengang Jamal menyerahkan lesennya lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup
tingkap keretanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku samannya. Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca tingkap. Jamal memandang wajah Bob dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca tingkap itu sedikit. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke tempat jaganya.

Jamal mengambil surat saman yang diselitkan Bob di celah kaca tingkap keretanya. Tapi, hei apa ini. Ternyata lesennya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menyamanku. Lalu nota ini apa? Semacam gurauan atau apa? Buru-buru Jamal membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.

“Helo Jamal. Tahukah kamu, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, dia
sudah meninggal dilanggar pemandu yang terburu-buru mengejar lampu merah. Pemandu itu dihukum penjara selama 3 bulan. Selepas dibebaskan dia boleh bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Allah berkenan menganugerahkan seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencuba memaafkan pemandu itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jamal. Doakan agar permohonan kami dikabulkan. Berhati-hatilah. - Bob”

Jamal terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia memandu perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.


Notas:

- Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Mungkin
jadi suka kita tak lebih dari duka rakan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.
- Pesanan untuk aku. Hati-hati ketika memandu. Terutama bila di persimpangan.

No comments:

Post a Comment